Book Review : Totto-Chan’s Children, A Goodwill Journey to the Children of the World


         Untuk apa-apa yang seringnya tidak kita syukuri, maafkan kami. Untuk apa-apa yang seringnya kita keluhkan, maafkan kami. Sepertinya karena kita belum banyak tahu tentang cerita-cerita kelaparan di belahan bumi lain. Sepertinya karena kita belum banyak peduli tentang kisah-kisah kehilangan di belahan bumi lain. Yang mereka alami memang tidak terjadi di sini, tetapi satu yang perlu kita tahu bahwa itu : benar-benar terjadi.

               
       
           
       Tetsuko Kuroyanagi adalah penulis buku Totto-Chan : Gadis Cilik di Jendela. Sebuah buku memoar masa kecilnya yang berkisah tentang polosnya kehidupan anak-anak yang belajar di gerbong kereta. Yang dari situ ia belajar tentang nilai-nilai kehidupan, seperti persahabatan, rasa hormat, penghargaan, serta kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Buku tersebut terbit pertama di tahun 1981. Sudah lama, tapi masih bagus dibaca sampai sekarang dan seterusnya. Menarik sekali. Banyak pembelajaran seru yang bisa diambil.

          Selain buku tersebut, Tetsuko juga menulis buku Totto-Chan’s Children, A Goodwill Journey to the Children of the World. Tentang kisah perjalanannya saat menjadi Duta Kemanusiaan UNICEF yang berkeliling di banyak negara dan menjumpai berbagai macam anak. Dari mulai Tanzania hingga Bosnia. Dari mulai bertemu dengan anak-anak yang terjangkit kurang gizi hingga anak-anak yang berada di panti. Juga anak-anak yang hanya bisa merangkak di tanah karena sakit, kedinginan, dan kelaparan.

        Buku ini banyak membuka mata dan menceritakan tentang fakta-fakta anak-anak di belahan bumi lain. Wajar jika sulit membayangkan sebelumnya di dalam kondisi negara kita yang cenderung stabil daripada negara mereka yang tidak.

        Salah satu kisah perjalanan yang cukup on point adalah ketika Tetsuko mengunjungi Haiti. Negara yang dulu memiliki 72% pekerja seks komersial. Termasuk pekerjanya adalah anak-anak belasan tahun. Suatu ketika ia bertemu dengan salah seorang anak berusia 12 tahun. Lalu Tetsuko bertanya,

“Apakah kau tidak takut pada AIDS?”
“Ya, aku takut, tapi bahkan jika aku terkena AIDS, aku akan tetap hidup beberapa tahun lagi, bukan? Kalau aku tidak bekerja, tak ada makanan untuk besok.”

          Keping-keping recehnya untuk menyelamatkan keluarganya dari kelaparan. Sedih banget  :(

          Ada juga dari Etiopia yang mengisahkan tentang keadaan bayi-bayi dan anak-anak yang sangat kurus hingga tulang tengkoraknya tampak jelas. Jika saja dicubit kulitnya, kulitnya tidak kembali ke tempat semula. Sampai-sampai ada anak sembilan tahun yang kebingungan mengapa orang-orang menatapnya. Tetsuko menjawab, “Karena kau sangat cantik.” Padahal bukan. Namun karena wajahnya yang kurus, tulang pipi menonjol hingga tampak seperti mumi. Sebenarnya bukan hal baru bagi Etiopia keadaan semacam ini. Negara ini telah kenyang dengan 30 tahun perang saudara dan berkali-kali diserang kekeringan.

          Terus jadi kepikiran bahwasanya yang kamu keluhkan selama ini belum apa-apa mel, belum apa-apa.

Masih banyak cerita sedih lain (yang kita tidak tahu) di belahan bumi lain. Perjalanan Tetsuko selama 13 tahun menjadi Duta Kemanusiaan membuka mata bahwa ternyata banyak yang belum kita tahu. Apalagi peduli. Ya, buku ini benar-benar mengandung bawang. Sangat turut mengajak pembacanya membayangkan ke sana. Menelusuri kesedihan-kesedihan, kehilangan-kehilangan, kelaparan-kelaparan.

Ternyata benar, untuk apa-apa yang seringnya tidak kita syukuri, maafkan kami.
Semoga kita jadi manusia-manusia yang lebih bisa bersyukur :’)

Bersyukur juga dapat kesempatan meminjam buku ini. Udah buku lama juga, kenapa baru baca sekarang ya. Heu. 

Comments

Popular posts from this blog

Book Review : Art of Dakwah

Menghadapi Perempuan