Menjadi Anak-anak

Di usia yang sebenarnya sudah tidak bisa dibilang anak ini, saya masih sering berpikir bahwa menjadi dewasa itu menakutkan. Lebih menyenangkan menjadi anak-anak dimana dunia dapat lebih dinikmati dengan lepas. Bebas. Melakukan suatu hal yang kita mau dan berpikir sederhana. Tidak ada kecemasan-kecemasan. Yang ada hanya bangun pagi dan pertanyaan "saya akan bermain apa hari ini".

Pagi ini salah satu teman saya di kos bilang ke saya, "Mel kamu kayak anak-anak. Makan terus tiba-tiba bersenandung lagunya Sherina. Di kamarpun, playlistmu lagu anak-anak ya seringnya."

Saya tertawa. Pertama saya menertawakan teman saya yang ketauan banget kalau suka perhatian sama saya. Kedua menertawakan diri saya sendiri. Kalau dipikir iya juga ya. Bahkan saya tidak sadar akan hal itu sebelumnya. Yang saya tau, saya suka lagu-lagu ringan yang mengingatkan saya akan masa kecil. Juga, yang membuat saya lupa akan hal-hal yang sedang tidak mau saya pikirkan sekarang. Sesederhana itu.

Saya tumbuh di desa. Desa sekali. Ndeso banget lah kalau bahasa Jawanya. Saya hidup di antara sawah dan jalan setapak. Saya mengalami masa-masa sekolah berjalan kaki. Sarapan pagi saya adalah embun di daun-daun dan kicau burung yang bertengger di kabel listrik yang panjang terbentang. Berasa ramai setelah penjual pasar di samping rumah saya berdatangan. Mereka jalan kaki. Turun dari pegunungan Sewu nan jauh di selatan sana.

Masa kecil saya adalah pulang sekolah jam 10 pagi lalu di rumah menyambut ibu yang dalam waktu bersamaan juga sedang pulang dari berbelanja di pasar. Saya membuka kantong belanja ibu dengan tidak sabar. Makanan-makanan kesukaan saya ada di sana. Saya biasanya menikmatinya sambil nonton acara tv kesayangan. Setelah habis, saya langsung pergi lagi untuk bermain. Tidak mau tidur siang. Haram hukumnya- pikir saya ketika itu. 

Bersama teman-teman perempuan biasanya kami bermain masak-masakan. Tanah kami anggap nasi, daun ketela dipotong kami anggap sayur, pecahan genteng yang ditumbuk kami anggap sambal. Semua itu dibungkus dengan daun pisang yang kami petik diam-diam. Kami telah belajar wirausaha bahkan sebelum tahu arti wirausaha itu sendiri. Selain masak-masakan, sering juga guru-gurunan. Dimana ada satu yang jadi guru lalu memberi soal kepada teman-teman lain yang jadi murid. Walaupun soalnya masih level 4+5, tapi itu itu menjadi KSM pertama dalam hidup saya. Bahkan sebelum saya tahu arti KSM itu sendiri.

Kalau mainnya ngajak anak laki-laki, mainnya udah beda lagi. Biasanya main petak umpet atau permainan lain yang butuh tenaga dan mental lebih. Tenaga karena mainnya lari-lari. Mental karena harus selalu siap untuk kalah. 

Masa kecil saya menyenangkan. Bahkan kalau boleh berandai, saya selalu ingin ke masa itu kembali. Saya yakin kalian juga merasakannya. Kita kecil yang lugu. Yang kalau musuhan pasti akur lagi di lain hari. Yang tidak pernah berprasangka yang bukan-bukan. Karena masa itu, prinsip kita satu : menjadi baik agar punya banyak teman.

Namun kenyataannya kita sudah tidak ada di sana lagi sekarang. Kita sedang hidup di usia yang penuh kompetisi. Persaingan tumbuh dimana-mana. Diam-diam harus lebih baik daripadanya. Kalau berhasil berarti memang kita berpotensi. Kalau tidak oh Tuhan apa dosa saya selama ini. Begitu kira-kira sekelumit pikiran anak muda awal 20an kini. Terlalu menuhankan obsesi.

Padahal kalau mau menyikapi situasi dengan lebih santai lagi, kita bisa dengan kembali menjadi anak-anak lagi. Anak-anak bukan berarti kekanak-kanakan. Anak-anak adalah berlaku yang lugu. Bersikap lebih apa adanya dan berpikir lebih sederhana. Tidak selalu merumitkan suatu hal dan berpikir kejauhan. 

Saya jadi ingat penggalan lagu Sherina yang ini

Setiap manusia di dunia
Pasti punya kesalahan
Tapi hanya yang pemberani
Yang mau mengakui

Setiap manusia di dunia
Pasti pernah sakit hati
Hanya yang berjiwa satria
Yang mau memaafkan

Di lagu itu, Sherina kecil menjelaskan ke kita bagaimana menghadapi keadaan dengan sederhana. Namun menjadi solusi yang luar biasa. Kalau kita punya salah ya mengakui, kalau sakit hati ya memaafkan. Betapa ilmu interaksi dan kehidupan banyak anak-anak telah ajarkan. Sebanyak apapun bilangan usia kita nanti, sebesar apapun masalah yang kita hadapi, tidak lantas harus diikuti dengan sikap dan pikiran yang merumitkan diri sendiri. Terkadang kita perlu menjadi anak-anak lagi. Sekali lagi dengan bersikap lebih apa adanya dan berpikir lebih sederhana.

Jadi jangan takut kalau kita masih anak-anak ya! Anak-anak masih kecil jadi tidak berhak untuk disalahkan dapat dosa. Haha.


Btw, beli Bobo eceran kalau di Jakarta itu dimana ya?

Comments

Popular posts from this blog

Book Review : Art of Dakwah

Menghadapi Perempuan