The Most Beneficial Person Around You (2)

Dalam rangka melanjutkan tulisan the most beneficial person around you. Tentang teman baik yang saya temukan di tingkat 2 ini. Bukan saya temukan ding karena tepatnya kita bertemu dan saling menemukan. Wah! 

Teman saya ini berhasil bikin saya kecanduan terhadapnya. Saya mencium aroma-aroma bunga segar di taman kalau sedang berada di dekatnya. Seperti aroma melati misalnya. Sedikit horor sih, tapi bikin perasaan ingin menari-nari. Sesederhana itulah perasaan saya dalam menyenanginya. Manis sekali bukan pernyataan saya ini? Jarang sekali saya memuji orang secara terang. 

Sebenarnya kami mulai saling tahu sejak pertama kali menginjakkan kaki di 2D. Jadi tahu saja, setelah sebelumnya saling tidak tahu sama sekali. Dulu saya di 1B dan dia jebolan 1D. Cukup sulit bagi kami untuk hafal nama seluruh teman angkatan dalam setahun apalagi jika tidak pernah melalui satu event bersama. Kami berteman layaknya teman kelas pada umumnya. Saling senyum dan saling sapa seutuhnya. Kehidupan berjalan biasa, tidak sedikitpun ada kesan menjejak di awal pertemanan. Sampai suatu ketika saya tiba-tiba merantau ke kosnya sore-sore untuk belajar Komputasi Statistik. Tidak ada angin tidak ada hujan, saya datang saja tiba-tiba. Mungkin kalau orang Prancis menyebut ini PDKT gitu ya. 

Lalu cerita kami dimulai. Ibarat ada data dependent berskala ordinal dipakaikan uji Friedman. Cocok! Kami memiliki banyak persamaan, seperti selera humor receh tingkat dewa dan hal-hal tidak jelas lainnya. Saya ingat sekali pertama conversation di chat room kami adalah ketika saya mengirim foto potongan rambut yang saya potong sendiri ke dia. Saya beri caption 'frustasi komstat' dan dia membalasnya dengan seru. Wah kalau tahu begini, mengapa kita tidak dipertemukan sejak dulu ya? Tanyaku. Itu namanya keberuntungan, apa jadinya aku jika mengenalmu sejak dulu. Begitu jawabnya. Menyebalkan, tapi bikin suka. Gimana ya.

Dalam sehari kami terbiasa berbincang banyak hal. Mulai dari hal penting sampai super tidak penting. Selain itu, kami juga pernah mempertengkarkan hal-hal kecil yang tidak masuk akal. Namun sebentar sudah baikan lagi. Saya belajar darinya bahwa segala sesuatu itu selalu bisa dibawa santai. Jangan hanya karena kita perempuan, perasaan selalu jadi sarapan. Kadang kita perlu berpikir sederhana dan bersikap 'yaudah lah ya'. Teman saya ini benar-benar mengajarkan bahwa hidup ini indah begini adanya.

Perlahan saya tahu teman saya ini memiliki kualitas ibadah yang baik. Di balik kekocakannya, tersimpan jiwa yang taat akan perintah Allah. Kadang-kadang saya jadi malu sendiri. Pernah suatu ketika saat di kosnya, kami selesai melakukan sholat Maghrib. Dia menyodorkan kepada saya Al Ma'tsurat. Sebenarnya saya tahu dan sudah punya, tapi saya belum terbiasa membacanya.

"Ini masing-masing dibaca 3 kali banget?" tanya saya dengan sangat polos
"Iya, tapi kalau udah biasa jadi ngga berat kok karena jadi agak hafal gitu"
"Oh okay"

Kami membaca masing-masing. Saya baru setengahnya, dianya sudah selesai. "Wah, kok aku lama sih" gerutu saya dalam hati. Setelah saya selesai saya bertanya,

"Ih kok kamu cepet banget sih, kayaknya aku engga lelet lho bacanya" tanya saya protes
"Kalau petang dibaca setengah aja"
"Kok kamu ga bilang, curaaang ah"
"Wkwk capek mel?"
"Hehehe"

Wah malu-maluin ya saya. Mau jadi apa saya di akhirat nanti. Alhamdulillah berteman dengannya banyak memberi perubahan bagi saya walaupun sampai sekarang ya saya gini gini aja. Masih perlu belajar lebih keras lagi. Dan dia terus menyadarkan saya dengan cara terbaiknya yang tidak pernah menggurui, dengan cara-cara menyebalkan namun benar sekali.

Hal yang berkesan lagi adalah kita pernah berkali kali saling tukar tempat makan yang berisi masakan masing-masing. Dia pernah bawain saya sayur jamur yang enak banget. Enak ditambah karena lapar ya langsung saya habiskan. Sama, dia pernah makan kimbap gagal saya sampai habis, terima kasih :" padahal saya udah bilang kalau ngga mau ngga apa-apa, tapi dia mengapresiasi saya sebegitu hebatnya. Padahal beneran gagal lho, hancur gitu sebelum disendok.

Masih banyak lagi hal menyenangkan darinya yang menemani hari-hari saya. Saya jadi teringat kisah persahabatan Ben dan Jodi di Filosofi Kopi. Aku jadi Ben, kamu jadi kopi. Bukan Jodi. Hehe Terus baik, wangi, dan bikin candu ya seperti kopi!

Comments

Popular posts from this blog

Book Review : Art of Dakwah

Menghadapi Perempuan